Tuesday, December 01, 2009

Maukah Kau Memaafkanku?


Sekitar tiga tahun yang lalu, gua sempat praktek hampir setahun di sebuah klinik khusus yang melayani pasien HIV di bilangan Jakarta Pusat sambil menunggu waktu PTT (tugas daerah). Gua seneng kerja di sana, bener-bener menambah pengalaman karena pas gua pendidikan S1 belum pernah merawat seorang pasien HIV pun. Bukan berarti gak ada pasien yang datang ke RS tempat gua menimba ilmu itu dulu tapi lebih karena tenaga paramedis yang menolak menampung dengan alasan belum tersedia sarana dan prasarana untuk itu misalnya masker khusus, apron, sarung tangan de el el. Waktu itu gua manggut2 aja meski ada rasa penasaran, lha kalau begitu kenapa nggak disediakan aja ya? 

Klinik tersebut hanya satu bagian dari pelayanan yang disediakan, selain itu rumah tempat klinik berada juga memiliki multifungsi sebagai tempat VCT, tes gratis, seminar, tempat bertemu kakak binaan (sebagian mantan pemakai yang sudah berhenti dan berdedikasi sebagai sukarelawan) hingga semacam rumah singgah tempat mereka berkumpul dan merasa diterima.

Sehari-hari gua tugasnya memeriksa mereka, meresepkan obat antiretroviral kalau persediaan mereka habis, menangani keluhan kesehatan lainnya seperti kalau ISPA, jamuran dsb ( karena daya tahan mereka lemah, sering sekali mereka jg terganggu oleh infeksi2). Mereka berobat secara gratis karena klinik ini dibiayai oleh LSM yang berafiliasi dengan donatur dari USA. Kalau memang kondisi umum terlalu berat kita suka rujuk mereka ke Pokdisus RSCM ataupun RSUD Tarakan.

Sesekali kalau ada pasien binaan yang terlalu lemah, gua diminta kunjungan rumah. Rata-rata gua mengenal cukup baik pasien-pasien karena mereka berobat teratur jadi kalau dibilang mau mengunjungi si Anu dalam hati gua sudah ada bayangan tentang status kesehatannya, kalau perlu gua obrak-abrik status mereka untuk melihat angka CD4 terakhir mereka (indikator status imun yg dihitung dari jenis sel darah putih).

Gua seneng2 aja kunjungan rumah karena sekalian bisa melihat kehidupan mereka di rumah, bisa mengedukasi keluarganya jg. Sambil dibonceng motor oleh suster Din yang suka ngebut, gua sering berteriak2 ngingetin dia lebih berhati2. Busyet deh, kalau dia mau belok kiri bisa tiba2 aja belok tanpa memperhatikan mobil yang mau lurus, bener2 sport jantung.

Biasanya keluarga pasien ramah2 dan bersyukur kita mau datang. Memang mereka pada umumnya dari keluarga menegah ke bawah namun kalau kita mampir, langsung disajikan teh botol dan snack2 yang mereka ngebon dulu dari warung tetangga. Rata-rata juga masih menunjukkan kasih sayangnya pada pasien dengan ucapan meminta tolong kami2 untuk 'menyembuhkan' keluarganya tersebut.

Sampai suatu siang yang terik di awal tahun 2007, gua ingat karena masih mual2 di awal gua hamil Denzel, begitu gua datang, langsung suster Din berkata "Dok, klinik tutup aja, ada pasien gawat yang perlu visit ke rumah." Langsung kita bergegas menuju Tanah Sereal, tempat pasien itu, sebut saja Rio tinggal. Gua masih ingat Rio dengan jelas, memang sudah beberapa kali dia datang. Orangnya masih muda umur 20 an lebih, humoris senang bercanda dengan kakak-kakak pembina, suka pula ikut-ikutan menasehati pasien yang masih pemakai. Sepintas dilihat dengan perawakannya yang bersih dan tegap, tidak akan ada yang menyangka ia sudah beberapa tahun mengidap HIV dan CD4 nya jg merosot.

Begitu sampai ke rumahnya yang sederhana, kita disambut dengan seorang ibu yang bertampang masam dan kita dianter ke ruang belakang, dekat dapur dan kamar mandi. Di sana tergolek sesosok tubuh yang sedang meringkuk di atas tikar dan cuma ditutupi sarung. Berat badannya merosot drastis sejak terakhir kami bertemu. Sorot matanya yang redup menyala sesaat melihat kedatangan kita. Mulutnya menyapa tanpa ada suara yang keluar. 

Saat gua periksa mulutnya kering dan  sudah putih semua oleh kandidiasis ( infeksi jamur), nadinya cepat dan tidak teratur, tensinya cuma 60/palpasi (Palpasi artinya sudah tidak terdengar),  saat gua cubit kulit perutnya, lapisan kulit pelan sekali kembali ke kondisi semula. Gua  tahu dia sudah dehidrasi berat karena diare dan muntah-muntah yang sedemikian sering. 

Sia-sia gua dan suster Din membujuk si ibu tampang masam yang ternyata ibu kandung Rio untuk membawa Rio ke RS. "Situ kan dokter, kasih obat saja sama anak saya." Dengan putus asa sekali lagi gua memandangi tas obat2an yang gua bawa, hanya tablet antibiotik, analgesik, antipiretik (obat panas) dan obat diare biasa. Gua sampai berbusa-busa menjelaskan Rio harus segera diinfus cairan pengganti cairan tubuh, antibiotik dan obat2an lain juga harus diberikan via infus untuk menyelamatkan nyawanya dan itu tidak mungkin kami lakukan di rumah. Sementara itu suster Din sudah menelpon teman2 lain dari klinik yang segera datang membantu kami meyakinkan keluarganya. Si Ibu juga akhirnya memanggil seorang pemuda yang merupakan abang Rio.

"Ibu sekarang bawa saja Rio, kami yang menemani. Nanti surat miskin bisa nyusul, gratis semuanya.", bujuk seorang kakak binaan.

" Begini ya, jangan bilang saya kejam, tapi kalau Yang di Atas sudah mau mengambil nyawanya ya memang sudah waktunya aja. Biar kata gratis, saya perlu ongkos ke sana, belum lagi beli makan, terus adik-adiknya juga masih banyak, siapa yang ngurus?" sergahnya, "Kalau mau dibilang jujur ya, saya malah senang dia mati, selama ini nyusahin saya saja, pas make obat nyuri2 uang, jual hape kakaknya, sekarang kena AIDS bikin AIB SAJA!!! SAYA MALU!!!MENDINGAN MATI KALAU MASIH MIKIRIN ORANG TUA!!!"

Gua shock mendengar kata-katanya, gua berharap semoga Rio tidak mendengar ucapan tersebut. Gua lihat matanya terpejam dan di sudut matanya tampak tetesan bening. Tapi mungkin gua salah lihat karena orang yang dehidrasi berat itu kan sudah tak bisa mengeluarkan airmata? Yang lain2 juga terdiam. Akhirnya gua bilang ke suster Din dan kakak binaan, bagaimana kalau kita tetap bawa saja si Rio, peduli amat dengan keluarganya. Gua rela deh nombokin uang perawatannya, bener2 ucapan yang sombong dan tidak realistis karena gua dan hubby belum punya penghasilan tetap kala itu, namun gua yakin si Rio masih bisa selamat nyawanya karena memang karakteristik mereka kalau kena infeksi terlihat parah tapi kalau sudah diobati segera bisa pulih apalagi CD4 terakhir Rio masih lumayan tinggi dan dia jg dijadwalkan segera menerima obat ARV. Mereka bilang tidak bisa seperti itu karena melanggar prosedur. Kalau sampai kita dituntut keluarga, kelangsungan klinik juga terancam. Sekarang saja keberadaan klinik masih ditentang oleh tetangga2 kanan-kiri.

Pernah nggak kalian merasa sedemikian hopeless? Serasa ingin berlari tangan dan kaki terikat, serasa ingin berteriak tapi mulut disumpal erat? Rasanya gua ingin menampar kakak dan ibu Rio, Sadar kalian sadar!! Ini Rio yang juga jago menyanyi pake gitar, ini Rio yang tidak pernah marah walaupun diledek habis-habisan, ini Rio yang bela-belain membantu kita bikin poster untuk pameran hari AIDS sedunia Desember lalu sampai tengah malam. Gua tahu dia ada salahnya, gua tahu AIDS ini akibat kekhilafan dia sendiri, tapi dia sudah lama tidah makai, sejak tamat SMP dia sudah sadar dan SMA diselesaikan dengan baik. Bisakah kalian maafkan dia, pleasssee?

Cuaca sudah berubah mendung kala kita kembali ke klinik. Sepanjang perjalanan pikiran gua gak bisa beralih dari Rio, bagaimana mungkin dia bertahan hanya dengan beberapa butir obat yang gua tinggalkan, bagaimana ia mampu meminumnya sedangkan air putih saja ia muntahkan? Apa harusnya gua berusaha lebih keras membujuk ibu dan kakaknya? Apa gua infus saja si Rio di rumah tapi nanti siapa  yang mengganti kolf infusannya kalau habis? Semua pertanyaan itu bersliweran di kepala gua tanpa henti.

"Dok, sudah sampe dok, turun atuh, berat nih.", seloroh suster Din. "Lho Dok, kok matanya merah?"

".................... Anginnya kenceng...."


In memorial Rio ( bukan nama sebenarnya) yang meninggal 2 hari setelah kami kunjungi, Mudah-mudahan kematianmu tidak sekedar pengisi statistik ODHA yang meninggal akibat neglected karena stigma dari masyarakat maupun yang lebih menyedihkan lagi dari keluarga. Mudah-mudahan kematianmu mampu membuat kami belajar untuk memberi maaf..... 

( 1 Desember, hari AIDS sedunia)

22 comments:

somepathtoremember said...

Hiksss...semoga saja tidak ada rio-rio lainnya lagi. Ibunya mungkin juga begitu karena himpitan ekonomi yang sangat berat. Memang apa enaknya siy narkoba setan itu?
Semoga Rio terlahir dialam yang lebih baik dan bahagia.
gw salut ama lo say
Im3th

Pucca said...

hikssss... gua nangis sesengukan baca postingan lu ini el, sedih banget, dan walaupun dia gak mau dibilang kejam, tapi gua akan bilang kenceng2 ibu kejaaaaammm..

masa anak sendiri gak bisa dimaafkan, kalo di depan orang luar aja begitu, apalagi sepenginggal elu el, bisa2 obatnya gak dikasih ke rio..

setau gua kasih ibu sebesar dunia ya, kalo seorang ibu aja sampe ngeluarin kata2 itu, apa yang kita harapkan dari dunia ini..

i wish i'm a doctor too..

Veny said...

Lis postingan lo bgs menyambut Hari Aids , sedih banget bacanya tapi g yakin banyak crt n nasib Rio2 laen kae gini type keluarga miskin terhimpit masalah ekonomi smp lupa ada org butuh support & kasih sayang .
Wahh g salut sama lo , bener2 dokter yg pny "hati" !

Arman said...

duh gua jadi terharu el...

mau komen juga jadi bingung. emang masih dilema sih ya. mungkin ortunya juga udah keselnya udah sampe bates mentok pas si rio nya dulu ngobat.

soalnya om gua pernah cerita. ada temen baiknya anaknya ngobat. sampe abis2an lho ortunya itu buat nolongin anaknya. masukin rehab dll. sampe jual rumah, mobil, dan gak punya apa2 lagi. tapi anaknya balik lagi ngobat lagi ngobat lagi. sampe akhirnya ortunya udah gak bisa apa2 lagi, udah keselnya mentok. mereka sampe bilang rasanya mendingan anaknya mati aja dah.

well kita gak di posisi keluarganya rio sih ya. emang kalo diliat dari luar sih kita bakal bilang kok ibunya gitu sih. masa gak ada belas kasihannya, itu kan anaknya sendiri. tapi balik lagi, kita gak ngerasain kan gimana penderitaan keluarga itu pas si rio nya masih ngobat.

tapi di lain pihak, namanya orang udah bertobat ya, harusnya jangan dikucilkan, harusnya dirangkul...

hmmm... yah yang penting semoga rio udah lebih tenang dan bahagia di atas sana...

Ratusya said...

hiks hiks.... sedih buanget. ternyata seperti itu ya ODHA itu.. kadang penolakan berasal dari keluarga sendiri...

BabyBeluga said...

Sedih banget ya, kok yg jadi ibunya tega nian.

Unknown said...

Elisa, postingan lu ini bener2 bisa jadi inspirasi buat keluarga yang kena AIDS.
Gua acung jempol kalo lu masih berpikir utk menolong Rio dengan biaya sendiri, bener2 ga hanya material yg lo pentingin.
Semoga Rio2 lain bisa dapet dukungan dari keluarga dan sekitarnya.
GBU n fam.
-Willy

Anonymous said...

4 thumbs up for u El :)

memang sih disini penyakit AIDS itu dianggap aib, tp kalo bisa memilih yang tertular pun ga ingin punya penyakit itu kan, lagian siapa yg mau sakit kalo bisa hidup sehat...

I' sure he forgive u...

Selvi said...

butuh waktu buat gua untuk nulis komen disini. abis baca, mata gua berkaca-kaca. belum kepikir mau komentar apa.

kasihan para penderita aids yg dimusuhi orang sekitarnya dan keluarga juga.

Yenny - Fidel n Feo said...

Pasti masih banyak Rio2 lain yah di sekitar kita, smoga mereka juga gak dikucilkan keluarga & masyarakat.

Salut El buat perjuangan lue

Tha..^^ said...

ah... sedih banget sih ci ceritanya T.T
semoga ngga banyak yang seperti orang tuanya rio di dunia.
Harusnya orang2 yang kena AIDS itu di dukung

Y3nn1 said...

Kasihan sekali yah Lis, memang masyarakat sampai sekarang ini masih sangat memandang hina penderita penyakit ini. Apalagi keluarganya. Tapi seharusnya kalo si Rio udah bisa insaf, keluarganya ga boleh setega itu dong, mustinya malah mendukung & menguatkan.

Salut sama lu, biarpun Rio (dan banyak Rio lainnya) bukan siapa2 lu, tapi lu bersedia nolongin tanpa pamrih. Semoga makin banyak dokter2 seperti lu yah Lis.

Once in a Lifetime said...

@lm3th : Gua jg rasa begitu, meth.. sigh, tp gua waktu stase di RSKO ada jg pasien dari keluarga kaya yang udah 'dibuang' keluarga cuma mereka masih mau bayarin rehabnya cuma gak kepengen dia bisa bebas apalagi sampai pulang padahal program rehab tetep ada batas akhirnya yakni mengembalikan dia ke masyarakat, ke keluarga. Adiksi tuh kompleks, sekali kena susah banget lepas baik kecanduan (adiksi) fisiknya juga sugestinya.

@ Vio : emang ini kasus ekstreme, kadang2 kita bisa tahu jg keluarga gak care tp di depan orang lain masih jaim.
Gua kebalikan dari elo, sometimes I wish I'm not a doctor karena... gua kalau sbg dokter harusnya bisa menyelamatkan nyawa orang contohnya Rio, kalau gua bukan dokter mungkin rasa bersalah gua gak seberat saat itu, gua bisa ngandelin orang lain, semacam begitu deh susah jelasinnya hiks...

@ Veny : Gua belum seberapa kok, Ven. Di klinik itu gua masih dapat honor cukup layak, nah pegawai2nya pendapatannya gak seberapa tapi ada seorang yang ditawarin kerja di LSM asing dengan gaji 3X lipat, dia gak mau lho karena merasa udah punya keterikatan dengan pasien2 binaan..

Soal hati kadang ada dokter yang terlihat 'dingin' tapi maksudnya biar dia tetap bisa tenang dan bertindak sigap. Hari pertama co-ass gua ingat ada anak perempuan pasien stroke perdarahan yang sedang sekarat menubruk papanya sambil nangis2, isi tangisannya benar2 curahan hati betapa papanya memperhatikan dia tapi dia marah karena merasa dikekang, betapa papanya memikirkan masa depannya tapi dia merasa papanya tll menuntut. Dia nangis2 minta ampun dan rela umurnya dipotong agar papanya sembuh. Entah kenapa kata2nya begitu menyentuh tanpa sadar gua jg ikut2an nangis, tp jadinya gua gak bisa mikir utk anamnesa, boro2 pemeriksaan fisik. Sejak itu gua pikir biarpun kita berempati, jangan sampai larut dalam kesedihan keluarga pasien karena mereka bukan butuh simpati kita tp tindakan cepat dan akurat menyelamatkan nyawa pasien..

Once in a Lifetime said...

@ Arman : Thanks ya, man. Elo memberi komen yang berimbang dan dari perspektif keluarga, mungkin kadang kita harus melihat the whole picture..

@ Ratu : ditolak di mana-mana emang, tapi bagi pasien pasti yang paling menyedihkan adalah tatkala ditolak oleh keluarga sendiri.

@ Sylvia : emang waktu itu gua maraaah banget tp mungkin spt kata Arman kita perlu mempelajari latar belakang knp dia sampai sekejam itu:(

Once in a Lifetime said...

@ Willy : gua jadi malu, Wil. Maksud postingan gua cuma pengen nyampein ke teman2 bahwa mereka tuh sama aja lho kayak kita2, punya cita-cita, punya perasaan, punya hobi, bisa jadi sahabat yang baik dll.

Hehe, gua pikir kalau ke RSUD Tarakan kayaknya masih mampulah gua talangin kalau cuma beberapa hari tapi kalau jangka panjang belum tentu, kan gua udah bilang waktu itu masih sombong, keras kepala dan idealis hehe... *mdh2an idealisnya masih tersisa:*

@ Debby : Bener deb, apalagi istri2 yang tertular karena perbuatan suaminya baik karena ngobat ataupun affair, sudah jatuh tertimpa tangga.

@ Selvi : Sel, mereka sering banget dimusuhi, anak kecil yang terinfeksi HIV misalnya dilarang sekolah, dilarang main ke luar rumah karena tetangga takut anak2 mereka tertular. Padahal gak segampang itu tertular...

Once in a Lifetime said...

@ Yenny : Yen, itu emang pesen yang pengen gua sampein, thanks for your support.

@ Tha : Tha, yang muda2 spt elo mudah2an menjadi generasi yang lebih menerima mereka, Amin.

@ Y3nn1 : emang karakter tiap keluarga beda2, ada yang rela pinjam uang di bank utk nyembuhin anaknya dari rehab ke rehab tapi yah ada juga yang spt keluarganya Rio ini. Mudah2an ke depannya mereka mendapat penerimaan dari kita semua.

Cyntha said...

aaaaaahhhhh....sebeeeellll...baru jg gw bw......gw jd berkaca2 niyyyy :(

salut gw ama elo...ini niyyy baru namanya dokter sejati :) *brarti gw diskon donk el kalo berobat ama elo wkekekeke*

yah...gw setuju ama arman, emang kita org luar nganggepnya si ibu tega bangeeet...tapi mau gimana lg kita jg ga bs nyalahin si ibu 100%, apalagi ekonominya yg pas2an. kalo yg berduit mah masi bisa ngusahain berobat sana sini. lah ibunya rio...buat sehari2 aj sulit...

yasudlah, mungkin jalan ini yang terbaik buat rio. dia lebih bahagia disisiNya

LANJUTKAN TUGAS MULIAMU BU DOKTER ^_^

Pinkbuble said...

El, gw juga jadi bingung mo komen apa disini..cuman gw berasa aja how u felt that time waktu denger emaknya ngomong gitu di depan anaknya..gw bener2 kesel jadinya kok ada nyokap yang tega ngomong gitu..kalo tau anaknya uda mau mati, at least biarin anaknya mati with love from family dunk yah..

Thanks El for posting this entry..Semoga Rio di alam sana ada internet bisa buka blog lu en tau kalo ada sum1 yang care sama dia kayak elu..

Once in a Lifetime said...

@ Cyntha : Bener, cyn. Rumahnya kumuh banget, mungkin utk sehari2 aja dia udah susah:( Hayuh, mau berobat apa? *siap2 buka praktek*

@ Elrica : di Thailand ada yayasan yang merawat ODHA yang udah dibuang ama keluarganya biar mereka meninggal secara bermartabat mungkin selevel dengan Mother Theresa dengan pasien kustanya. Coba di sini ada ya?
Thanks for your support, el:)

Unknown said...

aduhhh sedih banget deh bacanya.....

eny said...

baru baca artikel ini dan sukses membuat mata gua berkaca-kaca. hiks... sedih banget ya...

Tapi gua pernah ikut sebuah pelayanan jemaat dan sempet kunjungan ke sebuah keluarga. Ada seorang bapak umur 60 an, dulu ninggalin anak istrinya dan kawin lagi sama istri muda. Belakangan dia divonis sakit **kanker hati /liver** Trus hartanya abis buat berobat dan terakhir ngontrak sebuah rumah kecil nan kumuh di pasar dangdut cengkareng.

Pas kita kunjungan menyedihkan banget deh. Anak dari istri tua kepahitan sama bapaknya. Ga ada yang peduli. Istri muda, begitu bapak udah jatuh miskin jutek bener. anak2 dari istri muda masih kecil2. Paling kecil umur 4 thn. Di rumah itu dia terbaring kesakitan dengan perut membesar kaya orang hamil 5 bulan. ga bisa bergerak, kamar lembab dan bau, kayanya buang air sembarangan. ga tau makannya gimana? sedih banget. Pas kita datang dia nangis2 minta tolong dan mau mati aja. kita semua dipanggil bapak dan ibu pendeta, padahal kita semua ga ada yang pendeta lho. sedddihhh banget deh liatnya. Pas kita ngobrol sama si istri muda keliatan juga dia udah ga peduli dan merasa direpotkan sama si bapak.

Dan seminggu setelah kita kunjungan kita mendengar si bapak udah meninggal dunia. Hiks... kasian, meninggal dalam penderitaan dan kesepian. Mungkin penyesalan yang mendalam. huhuhu

Tanpa Nama said...

.brue ngebaca niie artikell
.hikkss hikss,, sediih bngeedtt .. :'(

Post a Comment