tante#1 :Ni gan ze ge ni yi sheng! (lihat dokter cewek ini)
tante#2 : Hmmmffff *mendengus setelah melirik ke gua*
tante#1 : Pu ze tao ta de mu chin siang shen me? (tidak tahu cara pandang mamanya)
Ni zi du te zhe me gao, du tao lao ah (sekolah sampai tua)
tante#3 : Sian zai se tai bu tong lah (sekarang jaman sudah berbeda)
tante#2 : Mei yong lah, wo shuo i ding mei yong de! Nan cia chut ci (aku bilang tak ada gunanya, susah merit nantinya)
Ting.. lift berhenti di lantai 1, 3 tante beranjak ninggalin gua yang masih berusaha pasang muka 'tidak-marah-karena-tidak ngerti'. Sambil ngedumel dalam hati dosa apa gua ama tiga mpok, mana mama gua dibawa-bawa dan disalah-salahin. Sempet kepikir gua mau jawabin aja ah pake bahasa Mandarin, biar kaget dan malu terus kapok ngata-ngatain orang yang disangkanya gak ngerti. Tapi mungkin dengan negative mind mereka yang sudah terkonsep, malah mereka nambahin angka minus lagi buat mama gua, mungkin dibilangnya tidak bisa mendidik anak, jadi kurang ajar dll. Ya sudahlah terima nasib.
Pikiran gua melayang pada minggu sebelumnya, mama gua telp dan setelah cerita sana-sini, dengan suara menahan tangis, mama cerita seorang kakek yang dulu tetangga mama barusan meninggal. Gua sempat pikir yah kan namanya udah uzur banget. Ternyata mama baru cerita pula untuk pertama kalinya tentang tetangga ini.
Meskipun Akong (kakek) orang yang cukup kaya dan terpandang, pikirannya masih kolot. Ia sama sekali tidak suka maupun menghargai anak perempuan, jadi waktu itu nyokap yang merupakan anak perempuan pertama, setelah dua kakak laki-lakinya bersekolah tidak didaftarkan ke sekolah biar udah cukup umur. Kerjaanya sehari-hari diminta membantu memasak dan menggendong adik-adiknya (12 bersaudara, yang hidup sampai dewasa 9 orang). Mama pengen banget bersekolah, tiap hari buku2 pelajaran koko2nya dibuka dan dirabai, terus pura2 bisa membaca sampai dipanggil ama dan dimarahin karena takut merusak buku kokonya. Nah kakek tetangga ini yang terenyuh melihat nasib mama, dia selalu menasehati akong agar menyekolahkan mama juga karena menurut dia mama anak yang cerdas. Pertama-tama akong sih cuek aja tapi lama kelamaan karena bosen dibilangin terus akhirnya pada usia delapan tahun lebih baru deh masuk SD kelas1. Perasaan mama waktu itu bagaikan mimpi..bisa ikut naik becak sama koko2 dan anak2 tetangga.. punya tas sekolah meskipun bekas, senengnya minta ampun.
Prestasi mama di sekolah juga baik selalu dapat ranking meskipun sulit untuk belajar di rumah. Orang tuanya lebih suka kalau mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga daripada mengerjakan pe-er. Zaman itu belum ada KB pula jadi hampir setiap tahun mama dapat adik bayi. Tugas mencuci popok, memasak, mengasuh adik2 semua jadi tanggung jawab mama. A Kong sangat galak, kalau adik-adik mama ribut ataupun berkelahi, yang disalahkan adalah mama. Begitu pula kalau ada satu anaknya yang berbuat kesalahan, selain anak tersebut yang mendapat hukuman rotan, anak-anak lain juga disuruh berbaris untuk dihukum atas kesalahannya yang telah lampau misalnya si A karena 2 hari yang lalu berkelahi di sekolah, si B karena mengganggu adiknya kemarin dstnya... serem yah, gua bayangin kan susah ya menghukum anak kita yang kesalahannya sebenarnya sudah lewat, tapi ngga tahulah memang begitu cara Akong mendisplinkan anak-anaknya.
Meskipun tidak dekat dengan semua anak-anaknya tapi Akong kelihatan jelas lebih sayang pada anak laki-laki. Kalau ada lauk, anak-anak cowok yang berhak mengambil duluan. Anak perempuan mendapat sisanya, kalau gak ada yah udah cuma dengan sayur-sayuran. Dengan anak perempuan, Akong juga hampir tidak pernah mengobrol, hanya kalau untuk marah atau memberi perintah saja baru anak-anak perempuan dilihat, selebihnya dianggap invisible.
Semakin hari bisnis Akong di bidang tembakau semakin berkembang. Mama dan saudara2nya bisa naik mobil ke sekolah. Tapi mama tidak pernah mendapat uang jajan jadi kalau ada yang mengajak mama jajan, mama selalu berkilah tidak lapar. Suatu hari diadakan bazar di sekolah, semua murid diminta menyumbang. Mama tidak mempunyai uang sepeserpun untuk disumbangkan. Mama mendengar teman-teman sekelasnya berbisik : Ih, pelit ya, padahal rumahnya ada kulkas, es jualan kita aja titip di rumahnya masa bilang ngga ada uang.
Memang saat itu cuma rumah mama yang punya kulkas besar. Hati mama sangat perih tapi tidak bisa menjawab apa-apa.
Meskipun banyak keluarga yang memuji Akong karena punya anak perempuan yang cukup berprestasi, Akong sendiri tidak pernah menunjukkan rasa senang. Sewaktu mendaftar ke SMA pun Akong menunjukkan rasa tidak sukanya. Mama tumbuh menjadi anak yang tidak percaya diri dan sensitif. Karena Akong terus-menerus menunjukkan rasa tidak sukanya meskipun tidak berani langsung melarang, mama akhirnya memutuskan berhenti saat kelas 2 SMA. Wali kelasnya datang ke rumah dan membujuk mama untuk sekolah lagi tapi mama sudah membulatkan niatnya. Ia ingin menyenangkan Akong, biar tidak menyindir lagi bahwa anak perempuan tak ada gunanya bersekolah tinggi2. Kalau ia bisa membantu Ama terus di rumah, mungkin Akong akan lebih senang dan mungkin sedikit menyayangi dirinya..
Nah, pas kemaring kakek tetangga yang baik itu meninggal, mama teringat betapa baiknya orang tersebut. Kalau tidak ada dia jangan2 mama buta huruf:( Sampai sekarang mama masih suka mimpi remaja lagi... terlambat ke sekolah... ada ujian pula... tapi dalam mimpinya hatinya terasa senang karena masih bersekolah. Mungkin dalam hati mama masih ada gadis berumur 18 tahun yang masih punya mimpi bisa bersekolah setinggi-tingginya...
Memang kemudian dari saudara-saudara mama: 1 orang dokter spesialis endokrinologi baru mendapat gelar profesor di Taipei, Taiwan; 1 orang Dipl Ing lulusan Jerman; 1 orang dokter gigi lulusan Jerman ; 1 orang sarjana Bahasa Inggris. Semuanya pria. Adik perempuan terkecil mama yang keras pendiriannya berhasil mendapat gelar master, itupun setelah menikah dan anaknya besar, ia mengambil kuliah malam.
Tapi apakah mama kalah dibandingkan dengan saudara2nya? Secara, semuanya kalau memiliki masalah pasti mencari mama. Kalau ada perselisihan di antara mereka, mama yang diminta memediasi. Mama juga yang dengan modal seadanya bersama papa merintis sebuah toko kecil yang lumayan berkembang dan bisa nyekolahing gua dan cici. Mama sudah berhasil jadi mama yang baik, yang meskipun masa kecilnya kurang kasih sayang namun membalasnya dengan pengasuhan penuh cinta.
Menurut gua sekolah penting namun lebih penting lagi kita terus belajar. Belajar menjadi orang yang lebih baik, lebih wise. Gua rasa setiap hari kita tak luput dari pembelajaran. Seorang karyawan belajar mengenai tugas2nya, belajar menjadi kolega, belajar menjadi bawahan, belajar menjadi atasan kalau nanti sudah punya. Seorang newlywed belajar mengenai bagaimana menjalankan rumah tangga, belajar menjadi suami/istri, belajar berselisih paham dan cara berdamainya, belajar mengalah dan tidak egois, belajar memaafkan. Seorang ibu belajar membedakan tangis anaknya yang baru lahir, belajar membalut luka, belajar bahwa sebuah ciuman di luka lutut ternyata lebih mujarab menghentikan tangis daripada obat, belajar bahwa kita ternyata bisa mencintai tanpa batas.
Jadi, please para tante jangan buru2 memberi penilaian negatif pada mama yang telah mengizinkan gua kuliah. Gua gak merasa rugi kok dengan sekolah yang memakan waktu lama ini. Memang banyak saudara yang bertanya ke mama: apa tidak takut anaknya nanti jadi perawan tua, entah karena keasyikan belajar tidak mau merit ataupun tidak ada cowok yang mau istrinya sekolah tinggi. Belum tentu juga kalau gua gak kuliah terus merit cepat, belum tentu cowok yang gak mau gua sekolah tinggi itu jodoh terbaik gua (gua rasa sih pasti bukan kalau type chauvinis bgt huh ). Sebaliknya juga belum tentu sekolah tinggi menjamin gua lebih bahagia. Ada kakak sepupu gua yang hanya setahun lebih tua dan menikah sangat dini, sekarang anaknya sudah lima orang, yap bener kok lima. Gua lihat dia bahagia betul kalau lagi bercanda dengan anak-anaknya. Sementara gua merit di usia akhir 20an, anak gua sekarang baru satu, 2 taon. Namun kebahagiaan gua dan dia gak bisa dibandingin, beda dimensinya. Masing2 puas dengan hidupnya. Tapi gua tahu, dia pasti setuju bahwa sampai saat ini pun dia belajar bagaimana caranya sambil menjalankan usaha bersama suaminya juga cakap mengurus anak-anaknya yang udah mulai puber. Jadi ingat nih masa kecil kita baring-baring di ranjang sambil berkhayal2.
Lu kalau gede jadi apa El? tanyanya..
Kalau lu apa?
Gua mau jadi pramugari ah, keliling2 dunia. katanya.
Kalau gua mau jadi nyonya2 kaya alias rich tai-tai. kata gua
Apa? hahahha
Nyatanya gak ada dari impian kita yang kesampean hahaha
Kalau ketemu lagi 3 tante itu gua mau tanya ah :Mana yang lebih baik 'Belajar sampai tua' atau 'Sudah tua tetap tidak belajar'?
8 comments:
nice story elisa, thanks for sharing :)
brarti emang turunan ya keluarga lu pinter2, emang belajar itu terus menerus ya, gua sih prefer belajar yang bukan di kelas aja deh.. otak gua udah gak mampu haha :D
Aku setuju jg sama Pucca :))
Brarti ketahuan nih Lis, kepinteran dan ketekunanmu itu ternyata karena faktor genetik :))
BTW, Akongmu serem jg yah huehehehe... (ampun Kong, ampun, sy cm komentar doank, maapin yaaa )...
@ Pucca, thanks pujiannya.. gua gak rasa pinter kok, malah SD pernah hampir gak naek kelas karena pelajaran PMP dapet merah hihihi..
@Tyda, thanks juga. Salam kenal ya.
Ceritanya dalem banget ya. Cowok ato cewek punya hak sama belajar sebanyak2nya, selaen sekolah juga belajar untuk bahagia,sharing en belajar mencintai... dan juga menikmati hidup, hehehe (pis engkong)
wah kok masih ada ya jaman sekarang gini orang2 yang pemikiran nya masih kolot banget kayak 3 tante itu...
jangan dimasukin hati... justru harus bersyukur karena mama lu berpikiran lebih maju ketimbang tante2 itu... ya gak... :)
@Mr Sun : thanks, bener banget!
@Arman : Hehe, banyak kok. Iya nih, gua sll bersyukur:)
keren banget ceritanya :D
aduuh tante2 itu, kerjaannya nggosip mulu ya ... pada sotoy semua, ck ck ck ...
@Fenty: thanks ya:)
Post a Comment